Resensi Novel Cantik Itu Luka
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Apa
kabar kawan sekalian, sebangsa setumpah darah dan sebahasa ataupun yang diluar
sana?
Selamat
menjalani hidup kalian wahai pecinta buku, ahli kitab, atau apapun itu julukan
orang yang senang membaca buku. Waduhuh, setelah sekian lama saya tidak upload
nih, hehe .. Maklum, saati ini saya sedang punya misi perkuliahan, semoga saya
dan kita semua yang sedang kuliah maupun menuntut ilmu dimanapun diberi
kemudahan selalu dan dapat mencapai segala asa dan mimpi kita semua.
Alhamdulillah Tuhan mengizinkan saya kali ini memposting sebuah resensi sebuah
buku lagi nih, buku yang saya ulas kali ini, lumayan cukup lama dan beberap kali terbit nih
karyanya. Karya ini merupakan jebolan UGM yang memiliki kemampuan pengetahuan
yang luas. Buku beliau sudah cukup banyak yang terbit, dan buku yang akan saya
ulas pada kesempatan kali ini adalah buku dengan judul Cantik itu Luka. Daripada
berlama-lama baca intro resensi ini, wkwk, yuk lanjut.
Eka
Kurniawan lahir di Tasikmalaya, 1975. Menyelesaikan studi di Fakultas Filsafat
Universitas Gadjah Mada 1999. Di tahun yang sama menerbitkan karya pertamanya, Pramoedya
Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis. Karyanya yang telah terbit: Cantik
itu Luka (2002), Lelaki Harimau (2004), Gelak Sedih dan
Cerita-cerita Lainnya (2005), Cinta Tak Ada Mati (2005). Kini
tinggal di Jakarta.
Cantik itu Luka telah
diterbitkan dalam bahasa Jepang dengan judul Bi wa Kizu, dan dalam
bahasa Malaysia dengan judul yang sama.
fb:
ekakurniawan.project
twitter:
@ekakurniawan
IDENTITAS
BUKU
a)
Judul
Buku : Cantik Itu Luka
b)
Penulis : Eka Kurniawan
c)
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
d)
Tahun
Terbit : 2004 (Cetakan Pertama); Pertama kali terbit
oleh AKYPress dan Penerbit Jendela 2002
e)
Kota
Terbit : Jakarta
f)
Tebal
Buku : 14 x 21 cm
g)
Jumlah
Halaman : 481+ halaman
h)
Nomor
ISBN : 978-602-03-1258-3
i)
Harga
: Rp. -
j) Kategori : Sastra/Fiksi
Ulasan Buku
Kebangkitan Dewi Ayu menjadi titik tolak cerita ini bermula,
selepas kematiannya dua puluh satu tahun yang lalu. Dewi Ayu merupakan seorang
pelacur sejak era penjajahan Jepang di Indonesia. Meskipun namanya seperti
seorang pribumi, pada kenyataannya ia tidaklah benar-benar begitu. Dewi Ayu
merupakan anak dari Henri dan Aneu Stammler, yang keduanya ternyata masih satu
Ayah yaitu Ted Stammler. Yang kelak ini adalah penyebab malapetaka yang menimpa
Dewi Ayu dan keturunannya.
Berlatar di sebuah kota bernama Halimunda,
tempat dimana semua perisitiwa nantinya terekam di sini. Selepas penjajahan
Jepang masuk, orang-orang Belanda yang masih ada di Indonesia, termasuk
Halimunda bergegas untuk pergi ke negara mereka masing-masing. Semua keluarga
Dewi Ayu pergi, kecuali Dewi Ayu yang bersikukuh ingin tetap tinggal di
Halimunda.
Kemudian, Jepang menduduki
Halimunda, dan siapapun yang termasuk orang-orang Belanda ditawan dan dibawa ke
penjara paling mengerikan dan menjijikan, Bloedenkamp. Yang masuk ke penjara
ini, dipastikan mereka kelaparan dan bahkan terserang penyakit-penyakit yang
dapat merenggut nyawanya. Dari sini, awal dari bagaimana Dewi Ayu menjadi
seorang pelacur. Berawal dari kelicikan para penjaga penjara yang tidak mau
memberikan seorang dokter kepada ibu Ola yang tengah sekarat. Penjaga itu akan
membawakan dokter, asal ia memberikan tubuhnya untuk dijamah.
Hingga kemudian, beberapa orang yang
terpilih dari para gadis di Bloedenkamp, dibawa menuju rumah besar dan mewah
yang suasananya berbanding terbalik dengan di penjara. Yang kelak, mereka
ketahui sebagai rumah pelacuran paling terkenal di kota itu, Mama Kalong.
Debut Dewi Ayu sebagai pelacur
ternyata membawanya menjadi sosok paling dicari dan diinginkan oleh semua pria
yang ingin tidur bersamanya. Selain karena ketenangannya, ia juga memiliki
paras yang begitu cantik, bahkan mungkin sesuai dengan namanya, Dewi Ayu, Dewi
Kecantikan. Tak ada satupun yang dapat mengalahkan ia dalam apapun, seolah
semua kesempurnaan ada padanya.
Dari menjalani hidupnya sebagai
pelacur, Dewi Ayu akhirnya memiliki tiga orang anak perempuan, yang ketiganya
benar-benar cantik sebagaimana ibunya. Dan yang paling cantik dari ketiga
anaknya itu, konon anak yang ketiga; Alamanda, Adinda, dan Maya Dewi. Ketiganya
kelak akan memiliki suami mereka masing-masing dan dikarunia anak. Dan lebih
kompleks lagi permasalahan yang akan diangkat.
Selain menceritakan bagaimana
situasi dan kondisi keluarga Dewi Ayu, novel ini pun berkisah seolah menjadi
buku sejarah dengan sajian narasi yang indah. Cerita yang dibawakan pun tetap
menjaga sejarah yang ada. Seperti bagaimana kisah sang Shodanco yang melakukan
perlawanan pada tanggal 14 Februari, yang kita ketahui bahwa memang ada catatan
sejarahnya. Bahkan di dalamnya pun disisipi pula bagaimana partai komunis
mengisi Halimunda. Hal ini memang berkaitan, sebab dalam novel ini, latar waktu
terbagi menjadi tiga babak, yakni pra kemerdekaan, kemerdekaan, dan pasca
kemerdekaan.
Selain erat dengan sejarah yang
membalut cerita di dalamnya, novel ini juga tak melulu menceritakan satu tokoh
tunggal sebagai peran utamanya. Tiap tokoh yang muncul memiliki porsinya
masing-masing. Tidak hanya sebagai pemanis, namun memang mengisi dalam tiap
cerita yang ada.
Konflik yang diangkat terbagi
menjadi ke beberapa bab, yang di tiap bab nya pembaca akan dibuat penasaran
tentang bagaimana kelanjutan cerita yang akan terjadi. Cerita pun memiliki alur
yang maju-mundur, sehingga membuat pembaca harus jeli di setiap perpindahan
alur dan latarnya. Dibarengi dengan membaca sejarah aslinya, akan lebih
membantu memahami substansi keseluruhan cerita.
Konflik akan terus meningkat di tiap
bab, permasalahan akan semakin kompleks dan rahasia-rahasia kelak akan terbuka.
Semuanya dikemas dalam sajian menarik dan juga tak membosankan. Bahasa yang
digunakan pun, mudah dipahami dan dicerna. Meski begitu, kiranya ada batasan
untuk para pembaca, terutama untuk anak-anak, tidak direkomendasikan membaca
buku ini. Sebab, kontennya yang cukup sering menyajikan kekerasan, vulgar dan
kadang hal-hal di luar nalar.
Salam Literasi!
0 Response to "Resensi Novel Cantik Itu Luka"
Post a Comment